SIGMUND FREUD : TOKOH DAN PEMIKIRANNYA
(Maryono, et all.)
Sigmund
Freud seorang tokoh psikoanalisis, dilahirkan di Morovia pada 6 Mei 1856 dan
meninggal di London pada 23 September 1939. Ia banyak dikenal sebagai tokoh
kreatif dan produktif terbukti dengan kebiasaannya menghabiskan 18 jam sehari
untuk menulis karya-karyanya.
Menurut aliran psikoanalisisnya Sigmund Freud mengenai kepribadian,
manusia adalah makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan (id) dan memandang manusia sangat ditentukan oleh
masa lalunya. Id adalah komponen yang alami pada manusia, sementara superego
(hati nurani) terbentuk karena adanya interaksi individu dengan lingkungan
sosialnya. Teori Freud ini dalam pandangan Psikologi Humanistik dipandang hanya
mampu menjelaskan adanya kebutuhan yang paling mendasar dari manusia. Teori
Freud ini akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan kebutuhan seseorang akan
aktualisasi diri atau juga kebutuhan untuk beragama.
Penelitian keagamaan
oleh Sigmund
Freud lebih meneliti pada aspek sosial agama tersebut. Misalnya Freud meneliti agama masyarakat primitif yang ia kaitkan dengan sistem Totem dan Taboo. Freud membandingkan masyarakat tersebut dengan tingkah laku yang ia temui pada tingkah laku orang yang terganggu jiwanya. Hasil akhirnya adalah adanya hubungan amtara kompleks Oedip dengan upacara agama. Masyarakat primitif memiliki sistem sosial yang menghormati Totem (biasanya hewan tertentu) sebagai sesuatu yang tidak boleh dilanggar dibunuh dan adanya larangan-larangan tertentu atau Taboo. Dua hal penting yang diyakini oleh agama Totem adalah larangan membunuh hewan Totem dan hubungan seksuil dengan wanita yang sama-sama dari marga satu Totem.
Freud lebih meneliti pada aspek sosial agama tersebut. Misalnya Freud meneliti agama masyarakat primitif yang ia kaitkan dengan sistem Totem dan Taboo. Freud membandingkan masyarakat tersebut dengan tingkah laku yang ia temui pada tingkah laku orang yang terganggu jiwanya. Hasil akhirnya adalah adanya hubungan amtara kompleks Oedip dengan upacara agama. Masyarakat primitif memiliki sistem sosial yang menghormati Totem (biasanya hewan tertentu) sebagai sesuatu yang tidak boleh dilanggar dibunuh dan adanya larangan-larangan tertentu atau Taboo. Dua hal penting yang diyakini oleh agama Totem adalah larangan membunuh hewan Totem dan hubungan seksuil dengan wanita yang sama-sama dari marga satu Totem.
Dari sistem sosial
agama Totem ini Freud berpandangan bahwa rasa beragama adalah perasaan
ambivalence yang terkenal dalam kompleks Oedip tersebut. Hal ini menginspirasi
Freud dan pengikutnya untuk mengatakan bahwa apa yang ada pada agama Totem juga
terdapat dalam dasar psikologi agama Kristen dengan sedikit perubahan.
Agama dan Gangguan Jiwa
Temuan Freud dalam
perbuatan was-was (obsessions dan compulsions) dan upacara-upacara agama, maka
bagi Freud orang yang menderita gangguan jiwa dengan gejala compulsive
behaviour akan dengan terpaksa mengulangi perbuatan atau kata tertentu yang
meskipun tidak berarti dan menurut logikanya tidak menginginkan hal tersebut.
Dalam analisanya, terbukti bahwa menuanaikan perbuatan itu, menunaikan suatu
fungsi yaitu mengurangkan rasa dosa yang tidak disadari, yaitu berhubungan
dengan keinginan atau percobaan seksuil yang ditekan. Upacara-upacara keagamaan
terlihat sebagai tindakan yang remeh dan tidak berarti sebagai upaya menunaikan
fungsi terhadap dosa dan meringankan kepedihan dalam jiwa yang disebabkan oleh
super ego.
Pada tahun 1907, Freud
menyatakan bahwa: “Compulsions dan Obsessions adalah agama tertentu, yang telah
rusak, sedang agama adalah gangguan jiwa (compulsions dan obsessions) yyang
umum”.
Agama Adalah Pemenuhan Sikap Kekanak-kanakan
Sigmund Freud memandang bahwa agama adalah
sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan. Ini menilik dari arti nama
psikoanalisis itu sendiri yang secara sederhana diartikan sebagai sebuah perawatan
medis bagi orang-orang yang menderita gangguan syaraf. Lebih jauh lagi Freud
dan para pengikutnya yang meyakini agama sebagai sesuatu hal yang negatif dan
neurotis (sakit saraf/jiwa) sekaligus agama sebagai pemuasan keinginan
kekanak-kanakkan. Penyebabnya adalah paling tidak ada dua faktor yaitu :
1.
Pertama,
kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan dalam sosok bapak.
Faktor
ini lebih banyak disebabkan oleh adanya pengalaman hidup yang dilalui
orang-orang beragama pada usia dini/kanak-kanak yang menganggap orang tua,
terutama bapak yang dengan penuh kasih sayang dapat menenteramkan anak yang
tidak berdaya dan ketakutan, dan pada akhirnya terciptalah surga buatan
baginya. Dengan demikian agama adalah sebuah ilusi menurut Freud.
2.
Kedua,
ritus-ritus wajib yang dijalankan secara rumit.
Tidak
dapat kita pungkiri adanya sejumlah aturan-aturan di dalam agama dan
upacara-upacara keagamaan lainnya. Maka tidak heran jika Freud memandang agama
adalah gejala neurotis atau penyakit jiwa dimana ketika manusia yang pada
dasarnya adalah makhluk yang bebas lalu dengan adanya agama manusia menjadi
makhluk yang terbatas dengan banyaknya aturan yang harus ditaati di dalam
agama. Baginya dengan adanya agama malah akan membatasi manusia untuk bertindak
sesuai keinginannya atau dengan kata lain terkekang oleh agama. Maka tidak
heran jika hanya orang gilalah yang mau untuk dikekang oleh aturan agama
sedangkan dia sendiri dapat memutuskan bagi dirinya untuk hidup bebas.
Agama juga digambarkan berupa kekuatan untuk
membela dan bertahan atau mental defense dalam menghadapi segala musibah
seperti bencana alam yakni gempa bumi, banjir, penyakit, dan lain sebagainya.
Manusia beragama ketika dalam masalah seperti ini dipandang ole Freud sebagai
anak-anak yang kemudian lantas mencari perlindungan kepada bapaknya (baca:
Tuhan). Itulah salah satu alasan dari Freud yang memandang bahwa agama
merupakan pemuasan keinginan kekanak-kanakkan.
Freud Menyatakan Doktrin Agama sebagai Ilusi
Bagi Freud agama adalah ilusi yang berasal dari
sebuah keinginan. Ilusi ini bisa jadi sesuai dan bertetangan dengan fakta. Sedangkan
ilusi berasal dari imajinasi, dan imajinasi menghasilkan rasa lega luar biasa
dari ketegangan, pemuasan kebutuhan mendesak yang tidak dapat dibenarkan dan
disalahkan. Agama adalah khayalan bagi orang-orang yang percaya pada kekuatan
lain yang juga merupakan ilusi dari sebuah kebutuhan untuk mencapai kedamaian.
Doktrin hanyalah alat untuk mensukseskan keinginan yang lahir dalam bentuk
agama.
Agama sebagai khayalan
harus dan akan bertahan hidup sebagai alat yang berguna dalam proses
pertumbuhan kepribadian manusia. Tetapi di luar nilainya sebagai khayalan untuk
mendukung manusia terhadap keadaan yang dengancara lain tidak dapat ditanggung
agama, menurut Freud, tidak hanya sia-sia tak berguna tetapi juga merugikan
pertumbuhan kepribadian manusia. Manusia tidak akan menjadi”anak” selamanya.
Freud skeptis terhadap peran agama dalam pengalaman manusia masa dewasa.
Pada dasarnya Freud
melihat agama sebagai khayalan dalam arti memiliki sifat yang bertahan yang
datang dari kekuatan dinamis yang bersumber pada konflik yang tertekan antara
tuntutan naluriah dan sosial yang terpendam dalam kepribadian manusia.
Keinginan masa kanak-kanak untuk mencapai penyelesaian ideal atas konflik itu
dilemparkan pada latar kenyataan terakhir dan terbaca kembali dalam istilah
Tuhan. Kemudian sebagai khayalan, agama berharga dan merupakan cara bertahan
untuk hidup yang disublimasi. Tetapi tidak harus didukung sebab agama bukan
cara penafsiran kenyataan yang tepat atau cara yang benar, bermoral atau kokoh
untuk menghadapi kehidupan. Yang pada akhirnya pertumbuhan menuntut bahwa
ketergantungan atas khayalan harus lenyap digantikan ilmu yang usahanya
diarahkan untuk menjelaskan dunia nyata yang selalu lebih penting daripada
dunia khayal.
Setiap manusia memandang agama
dengan sudut pandang masing-masing. Perbedaan ini merupakan sebuah sikap yang
diambil berdasarkan pengalaman beragama masing-masing individu. Sigmund Freud
adalah salah satu tokoh Psikoanalisis yang mendudukkan agama sebagai sebuah hal
yang negatif dan sebagai penyakit neurotis (sakit jiwa). Kesimpulan Freud yang
sampai pada menyamakan agama sebagai suatu hal negatif ini merupakan pandangannya
pada agama sebagi sebuah pelampiasan masa kanak-kanak. Bagi Freud agama
digambarkan sebagai alat yang digunakan manusia untuk bertahan (mental
defense) ketika menghadapi musibah layaknya anak kecil yang mencari
perlindungan pada bapaknya.
Dalam teori Psikoanalisa Freud,
unsur-unsur agama dinyatakan:
1. Sesungguhnya kepercayaan
agama seperti keyakinan akan keabadian, sorga dan neraka, tak lain dari hasil
pemikiran kekanak-kanakan yang berdasarkan kelezatan, yang mempercayai adanya
kekuatan mutlak bagi pemikiran-pemikiran.
2. Sikap seseorang terhadap Tuhan
adalah pengalihan dari sikapnya terhadap bapak, yaitu sikap oedip yang
bercampur antara takut dan kebutuhan akan kasih sayangnya.
3. Doa-doa lainnya (dari
penenang agama) adalah cara-cara yang tidak disadari (obsessions) untuk
mengurangkan rasa dosa, yaitu perasaan yang ditekan akibat
pengalaman-pengalaman seksuil, yang kembali pada bertumbuhnya kompleks Oedip.
Dari unsur-unsur tersebut,
disimpulkan bahwa agama adalah gangguan jiwa dan kemunduran kembali kepada
hidup yang berdasarkan kelezatan.
Abdullah, Samudi, Mencari Pedoman Hidup, Toha Putra. Semarang, 1981.
Ancok, Djamaludin dan Fuad Nashori, Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1994.
Crapps, Robert W., Dialog Psikologi dan Agama,
ed. Hardjana, Yogyakarta, Kanisius, 1995.
Darajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama,Bulan
Bintang, Jakarta, 1996.
Sobat, Dida, Sigmund Freud (1856-1939): Agama sebagai
Pemuasan Keinginan Kekanak-kanakkan. [tersedia online di
http://darul-ulum.blogspot.com/2007/04/sigmund-freud-1856-1939-agama-sebagai.html.
pada Rabu, 11 April 2012 pukul 5.16 pm]
Thouless, Robert H, Pengantar Psikologi
Agama, terj. Machnun Husein,
Raja Grafindo Persada, Jakarta,1995.
0 komentar:
Posting Komentar