Selasa, 12 Juni 2012


SIGMUND FREUD : TOKOH DAN PEMIKIRANNYA

(Maryono, et all.)
           

            Sigmund Freud seorang tokoh psikoanalisis, dilahirkan di Morovia pada 6 Mei 1856 dan meninggal di London pada 23 September 1939. Ia banyak dikenal sebagai tokoh kreatif dan produktif terbukti dengan kebiasaannya menghabiskan 18 jam sehari untuk menulis karya-karyanya.
Menurut aliran psikoanalisisnya Sigmund Freud mengenai kepribadian, manusia adalah makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan (id) dan memandang manusia sangat ditentukan oleh masa lalunya. Id adalah komponen yang alami pada manusia, sementara superego (hati nurani) terbentuk karena adanya interaksi individu dengan lingkungan sosialnya. Teori Freud ini dalam pandangan Psikologi Humanistik dipandang hanya mampu menjelaskan adanya kebutuhan yang paling mendasar dari manusia. Teori Freud ini akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan kebutuhan seseorang akan aktualisasi diri atau juga kebutuhan untuk beragama.
Penelitian keagamaan oleh Sigmund
Freud lebih meneliti pada aspek sosial agama tersebut. Misalnya Freud meneliti agama masyarakat primitif yang ia kaitkan dengan sistem Totem dan Taboo. Freud membandingkan masyarakat tersebut dengan tingkah laku yang ia temui pada tingkah laku orang yang terganggu jiwanya. Hasil akhirnya adalah adanya hubungan amtara kompleks Oedip dengan upacara agama. Masyarakat primitif memiliki sistem sosial yang menghormati Totem (biasanya hewan tertentu) sebagai sesuatu yang tidak boleh dilanggar dibunuh dan adanya larangan-larangan tertentu atau Taboo. Dua hal penting yang diyakini oleh agama Totem adalah larangan membunuh hewan Totem dan hubungan seksuil dengan wanita yang sama-sama dari marga satu Totem.
Dari sistem sosial agama Totem ini Freud berpandangan bahwa rasa beragama adalah perasaan ambivalence yang terkenal dalam kompleks Oedip tersebut. Hal ini menginspirasi Freud dan pengikutnya untuk mengatakan bahwa apa yang ada pada agama Totem juga terdapat dalam dasar psikologi agama Kristen dengan sedikit perubahan.

Agama dan Gangguan Jiwa
Temuan Freud dalam perbuatan was-was (obsessions dan compulsions) dan upacara-upacara agama, maka bagi Freud orang yang menderita gangguan jiwa dengan gejala compulsive behaviour akan dengan terpaksa mengulangi perbuatan atau kata tertentu yang meskipun tidak berarti dan menurut logikanya tidak menginginkan hal tersebut. Dalam analisanya, terbukti bahwa menuanaikan perbuatan itu, menunaikan suatu fungsi yaitu mengurangkan rasa dosa yang tidak disadari, yaitu berhubungan dengan keinginan atau percobaan seksuil yang ditekan. Upacara-upacara keagamaan terlihat sebagai tindakan yang remeh dan tidak berarti sebagai upaya menunaikan fungsi terhadap dosa dan meringankan kepedihan dalam jiwa yang disebabkan oleh super ego.
Pada tahun 1907, Freud menyatakan bahwa: “Compulsions dan Obsessions adalah agama tertentu, yang telah rusak, sedang agama adalah gangguan jiwa (compulsions dan obsessions) yyang umum”.

Agama Adalah Pemenuhan Sikap Kekanak-kanakan
Sigmund Freud memandang bahwa agama adalah sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan. Ini menilik dari arti nama psikoanalisis itu sendiri yang secara sederhana diartikan sebagai sebuah perawatan medis bagi orang-orang yang menderita gangguan syaraf. Lebih jauh lagi Freud dan para pengikutnya yang meyakini agama sebagai sesuatu hal yang negatif dan neurotis (sakit saraf/jiwa) sekaligus agama sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan. Penyebabnya adalah paling tidak ada dua faktor yaitu :
1.    Pertama, kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan dalam sosok bapak.
Faktor ini lebih banyak disebabkan oleh adanya pengalaman hidup yang dilalui orang-orang beragama pada usia dini/kanak-kanak yang menganggap orang tua, terutama bapak yang dengan penuh kasih sayang dapat menenteramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan, dan pada akhirnya terciptalah surga buatan baginya. Dengan demikian agama adalah sebuah ilusi menurut Freud.

2.    Kedua, ritus-ritus wajib yang dijalankan secara rumit.
Tidak dapat kita pungkiri adanya sejumlah aturan-aturan di dalam agama dan upacara-upacara keagamaan lainnya. Maka tidak heran jika Freud memandang agama adalah gejala neurotis atau penyakit jiwa dimana ketika manusia yang pada dasarnya adalah makhluk yang bebas lalu dengan adanya agama manusia menjadi makhluk yang terbatas dengan banyaknya aturan yang harus ditaati di dalam agama. Baginya dengan adanya agama malah akan membatasi manusia untuk bertindak sesuai keinginannya atau dengan kata lain terkekang oleh agama. Maka tidak heran jika hanya orang gilalah yang mau untuk dikekang oleh aturan agama sedangkan dia sendiri dapat memutuskan bagi dirinya untuk hidup bebas.
Agama juga digambarkan berupa kekuatan untuk membela dan bertahan atau mental defense dalam menghadapi segala musibah seperti bencana alam yakni gempa bumi, banjir, penyakit, dan lain sebagainya. Manusia beragama ketika dalam masalah seperti ini dipandang ole Freud sebagai anak-anak yang kemudian lantas mencari perlindungan kepada bapaknya (baca: Tuhan). Itulah salah satu alasan dari Freud yang memandang bahwa agama merupakan pemuasan keinginan kekanak-kanakkan.

Freud Menyatakan Doktrin Agama sebagai Ilusi
Bagi Freud agama adalah ilusi yang berasal dari sebuah keinginan. Ilusi ini bisa jadi sesuai dan bertetangan dengan fakta. Sedangkan ilusi berasal dari imajinasi, dan imajinasi menghasilkan rasa lega luar biasa dari ketegangan, pemuasan kebutuhan mendesak yang tidak dapat dibenarkan dan disalahkan. Agama adalah khayalan bagi orang-orang yang percaya pada kekuatan lain yang juga merupakan ilusi dari sebuah kebutuhan untuk mencapai kedamaian. Doktrin hanyalah alat untuk mensukseskan keinginan yang lahir dalam bentuk agama.
Agama sebagai khayalan harus dan akan bertahan hidup sebagai alat yang berguna dalam proses pertumbuhan kepribadian manusia. Tetapi di luar nilainya sebagai khayalan untuk mendukung manusia terhadap keadaan yang dengancara lain tidak dapat ditanggung agama, menurut Freud, tidak hanya sia-sia tak berguna tetapi juga merugikan pertumbuhan kepribadian manusia. Manusia tidak akan menjadi”anak” selamanya. Freud skeptis terhadap peran agama dalam pengalaman manusia masa dewasa.
Pada dasarnya Freud melihat agama sebagai khayalan dalam arti memiliki sifat yang bertahan yang datang dari kekuatan dinamis yang bersumber pada konflik yang tertekan antara tuntutan naluriah dan sosial yang terpendam dalam kepribadian manusia. Keinginan masa kanak-kanak untuk mencapai penyelesaian ideal atas konflik itu dilemparkan pada latar kenyataan terakhir dan terbaca kembali dalam istilah Tuhan. Kemudian sebagai khayalan, agama berharga dan merupakan cara bertahan untuk hidup yang disublimasi. Tetapi tidak harus didukung sebab agama bukan cara penafsiran kenyataan yang tepat atau cara yang benar, bermoral atau kokoh untuk menghadapi kehidupan. Yang pada akhirnya pertumbuhan menuntut bahwa ketergantungan atas khayalan harus lenyap digantikan ilmu yang usahanya diarahkan untuk menjelaskan dunia nyata yang selalu lebih penting daripada dunia khayal.


 PENUTUP

            Setiap manusia memandang agama dengan sudut pandang masing-masing. Perbedaan ini merupakan sebuah sikap yang diambil berdasarkan pengalaman beragama masing-masing individu. Sigmund Freud adalah salah satu tokoh Psikoanalisis yang mendudukkan agama sebagai sebuah hal yang negatif dan sebagai penyakit neurotis (sakit jiwa). Kesimpulan Freud yang sampai pada menyamakan agama sebagai suatu hal negatif ini merupakan pandangannya pada agama sebagi sebuah pelampiasan masa kanak-kanak. Bagi Freud agama digambarkan sebagai alat yang digunakan manusia untuk bertahan (mental defense) ketika menghadapi musibah layaknya anak kecil yang mencari perlindungan pada bapaknya.
Dalam teori Psikoanalisa Freud, unsur-unsur agama dinyatakan:
1.      Sesungguhnya kepercayaan agama seperti keyakinan akan keabadian, sorga dan neraka, tak lain dari hasil pemikiran kekanak-kanakan yang berdasarkan kelezatan, yang mempercayai adanya kekuatan mutlak bagi pemikiran-pemikiran.
2.      Sikap seseorang terhadap Tuhan adalah pengalihan dari sikapnya terhadap bapak, yaitu sikap oedip yang bercampur antara takut dan kebutuhan akan kasih sayangnya.
3.      Doa-doa lainnya (dari penenang agama) adalah cara-cara yang tidak disadari (obsessions) untuk mengurangkan rasa dosa, yaitu perasaan yang ditekan akibat pengalaman-pengalaman seksuil, yang kembali pada bertumbuhnya kompleks Oedip.
Dari unsur-unsur tersebut, disimpulkan bahwa agama adalah gangguan jiwa dan kemunduran kembali kepada hidup yang berdasarkan kelezatan.
           


 DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Samudi, Mencari Pedoman Hidup, Toha Putra. Semarang, 1981.
Ancok, Djamaludin dan Fuad Nashori, Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1994.
Crapps, Robert W., Dialog Psikologi dan Agama, ed. Hardjana, Yogyakarta, Kanisius, 1995.
Darajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama,Bulan Bintang, Jakarta, 1996.
Sobat, Dida, Sigmund Freud (1856-1939): Agama sebagai Pemuasan Keinginan Kekanak-kanakkan. [tersedia online  di http://darul-ulum.blogspot.com/2007/04/sigmund-freud-1856-1939-agama-sebagai.html. pada Rabu, 11 April 2012 pukul 5.16 pm]
Thouless, Robert H, Pengantar Psikologi Agama, terj. Machnun Husein, Raja Grafindo Persada, Jakarta,1995.
Posted by Nida Vitria Utami On 02.48 No comments

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

Cari Blog Ini