Kamis, 23 April 2015

Al-Qur'an adalah akhlak Muhammad Rasulullah, atau Muhammad Rasulullah adalah Al-Qur'an hidup. bila kita hendak mengarahkan pendidikan kita, menumbuhkan karakter yang kuat pada anak didik, siapa lagi model yang memiliki karakter yang sempurna kecuali Muhammad Rasulullah. itulah alasan mengapa al-Qur'an Al-Qur'an dipilih untuk menjadi basis dari pendidikan karakter.
    Al-Qur'an adalah huda, petunjuk, bagi manusia, dari kata petunjuk kita menemukan nuansa makna bahwa hidup ini seperti sebuah perjalanan di negeri asing, Syuhrawardi asy-Syahid menyebut negri asing ini sebagai al-Ghurbah al-Gharbiyah (negeri asing yang penuh ilusi). karena gelap, petunjuk dapat mengarahkan perjalanan agar sampai pada titik finish dan sebagai pemenang. Tanpa petunjuk perjalanan akan berakhir pada ketersesatan dan kejahatan, seperti yang dikemukakan surat Al-Fatihah.
    Al-Qur'an juga bukan sekedar kitap kosong yang tanpa bukti. Dibawah ini bimbingan Al-Qur'an yang datang secara bertahap , kaum muslim menjelma sebagai pribadi baru yang sulit dicari bandingannya. Will Durant dalam The Story of Civilization menulis kesaksiannya terhadapp kisah Al-amin.
  "Jika kita mengukur kebesaran dengan pengaruh, maka ia adalah satu diantara tokoh-tokoh besar dalam sejarah. ia telah berusaha meningkatkan tingkat rohani dan moral suatu bangsa yang tercengkeram kebiadaban karena panas dan ketandusan Sahara. Ia lebih berhasil ketimbang ketimbang setiap pembaharu manapun. begitu jarang orang yang bisa mewujudkan mimpinya sepenuh dia. ia mencapai tujuannya melalui agama, bukan saja karena ia sendiri beragama, melainkan karena tidak ada medium lain yang dapat menggerakkan orang arab waktu ituu. Disentuhnyadaya khayal mereka, takut dan harap mereka, dan ia berbicara dengan bahasa yang bisa mereka pahami. ketika ia datang, Arabia adalah padang pasir yang dihuni para penyembah berhala; ketika ia mati, Arabia adalah suatu umat,.....ia tegakkan agama yang sederhana, jelas, dan kua, suatu akhlak yang memiliki keberanian luar biaa dan menjadi kebanggaan, yang dalam satu generasi bergerak menuju ratusan kemenangan. dalam satu abad satu kerajaan besar. bahkan sampai saat ini, umatnya tetap menjadi kekuatan dahsyat meliputi setengah dunia."
  semuangaya dapat dilakukan di bawah bimbingan Al-Qur'an. para penyembah berhala yang tak pernah bisa bersatu dengan tetangganya, yang gampang bertarung karena hal sepele, dengan mukjizat Al-Qur'an semuanya dapat berubah menjadi umat.
  menjadi umat berarti melepaaskan batas-batas pembeda, membiarkan golongan "ke-kami-an" menjadi ke-kita-an dalam satu ikatan transenden yang sama, yaitu iman. dalam "umat" tak ada yang menjadi "lebih utama", semuanya sama dan saling hubung dengan mediasi iman. persis seperti peristiwa meletakkan Hajar Aswad denagan serban, tak ada yang lebih utama, semuanya sama sejajar dirajut kepercayaan kepada Al-Amin.
  para penyembah berhala yang tak pernah bisa meninggalkan kampung halamannya karena menganggap bahwa hanya di tanahnya sajalah kemujuran dapat diproleh, kemudian bisa menjadi pengembara yang berhijrah ke seluruh bumi. semuanya karena asuhan Al-Quran.
  ia tegakkan agama yanga sederhana, jelas, dan kuat. suatu akhlak yang memiliki keberanian luar biasa dan menjadi kebanggaa, yang_ dalam satu generasi- bergerak menuju ratusan kemengana. dalam satu abad kerajaan besar. bahkan sampai saat ini, umatnya tetap menjadi kekuatan dahsyat meliputi setengah dunia
 Al-Amin ataau muhammda Rasulullah adalah Al-Quran yang berjalan, maka apa pun yang dilakukannya adalah realisai dari Al-Qur'an
  Al-Amin mengajarkan karakter baru: karakter pemenang

Posted by Nida Vitria Utami On 03.03 No comments READ FULL POST


Profesor ahmat tafsir pernah memberikan jawaban yang unik, sepertinya jawaban ini dapat ditarik dalam tema karakter ini. Saat itu sang profesor dihadapkan pada pertanyaan, “berhasikah pendidikan indonesia?” beliau menjawab, “ bila ingin melihat hasil pendidikan indonesia, lihatlah apa yang sedang terjadi saat ini. “ ini cara evaluasi yang sederhana, gampang dilakukan, dan menghasilkan kesimpulan yang tak terbantahkan.
Sebagian besar anggota parlemen atau pejabat yaang korupsi adalah alumni pendidikan indonesia 30-60 tahun yang lalu; mahasiswa yang memiliki hobi berdemonstrasi adalah alumni pendidikan indonesia 20 tahun yang lalu; sedangkan anak-anak gaul yang ingin melepaskan diri dari sejarah adalah alumni pendidikan indonesia 15 tahun yang lalu. Itu semua adalah hasil sistem pendidikan indonesia, simpul pak profesor.
Bila demikian, sistem pendidikan negri ini tidak bisa dikatakan berhasil. Pada beberapa sisi kita memang berhasil menghasilkan banyak komentator sepak bola yang handal ketimbang pemain bola yang memadaai; lebih banyak memiliki komentator politik ketimbang politikus yang baik; lebih banyak menghasilkan mubalig yang pandai mengundang tawa dari pada penyebar rahmat bagi semua semesta.
Tetapi itulah hasil sistem pendidikan nasional, sistem pendidikan kita. Suatu sistem yang lebih sibuk pada pergantian aturan, atau sekedar peganti huruf “A” dengan huruf “U” sembari melupakan apa yang seharusnya segera dikerjakan. Bila melihat hasilnya, yaitu menumpuknya para komentator, dapat diduga bahwa pendidikan kita begitu banyak menjejalkan pengetahuan, teori-teori, dan informasi sembari lupa melakukan praktik. Sehingga jadilah sejumlah alumni yang begitu pandai berbicara teori ini dan itu, tapi tak mampu untuk melakukan teorinya ddengan baik.
Freire menyebutnya sebagai pendidik “ bergaya bank” siswa dianggap “celengan “ yang siap kapan saja untuk dijejali apa yang dikehendaki sang guru. Siswa adalah tanah lempung yang begitu lugu, yang bisa dibentuk menjadi apapun sekehendak sang guru. Pada sistem bergaya bank, ujar Freire, pendidikan seperti melarikan dirii dari kenyataan. Apapun yang terjadi pada kenyataan, tak memengaruhi transmisi pengetahuan di dalam ruangan kelas.
Iqbal menyebutnya sebagai pendidikan “bergaya kambing”. Paada buku Asrar Khudi, Iqbal mengisahkan suatu fabel yang menyesakkan.
Alkisah di suatu hutan, para kambing gelisah pada keliaran srigala, keganasannya telah menghabiskan lebih dari separo dari komunitas kambing. Lalu seekor kambing tua yang bijak dan cerdik mengusulkan diri untuk menundukkan serigala. Pada suatu malam, kambing tua ini mendataangi perkampungan serigala dan dengan muslihatnya mengaku diri menjadi nabi yang dikir khusus untuk serigala.  Sebagai nabi, kambing tua itu mmfatwakan sejumlah ajaran baru yang mereformasi ajaran lama. Ajaran yang terpenting adalah berpantang memakan daging kambing. Jadilah kelompok serigala itu berprilaku seperti kambing, mengembik dan memakan rumput serta taat pada kambing-kambing
Apa yang dinyatakan iqbal tentulah sebuah amsal bahwa pendidikan begitu memaksakan suatu konsep yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan potensi peserta didik. Pendidikan telah merusak potensi seseorang daan menjadikannya sebagai “pecundang” yang penuh gaya dan keyakinan     
Posted by Nida Vitria Utami On 02.17 No comments READ FULL POST

Selasa, 21 April 2015


BERKARAKRET SEPERTI LAUTAN
Orang yang memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja dari sononya. Sementara orang yang mempunyai karakter yang lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya.
Kita yang gampang menyerah untuk marah, yang gampang putus asa untuk melatih rasa adalah orang-orang dengan karakter lemah. Kita yang gampang melupakan janji dan tekad, yang gampang menyalahkan pihak lain, tentulah bukan orang-orang dengan karakter yang kuat.
            Bila karakter kita kuat, tentulah kita seperti gelombang yang maju menejaang apapun yang ada di hadapannya. Karena karakter kita begitu lemah, kita persis seperti buaih, begitu banyak mengunduk tapi tanpa daya untuk melakukan apa-apa. Sesekali buih itu berkumpul, menggemakan istighasah, lalu setelah itu meninggalkan lapangan penuh sampah. Bagaimana Tuhan mau memberi ampun semetara kita berdoa sembari merusak bumi yang indah? Sesekali buih itu bermusyawarah mencari mufakat, sembari saling membenci dan membuat kelompok-kelompok.
            Mengapa kita begitu rapuh? Karena kita kehilangan karakter!
 beberapa orang ahli di negeri ini menyindir kita sebagai “murid orde baru, sebagai penderita gegar kebebasan”. Setelah sekian lama disekap, kita begitu kebingungan ketika mendapatkan kebebasan. Akhirnya, kita menjadi tak tahu arah, bicara tanpa batas dan menyatakan pendapat asal berbeda
            Kita terseret oleh apa yang disebut heidegger sebagai “rasa ingin tahu” (neugier):
“orang yang diseret rasa ingin tahu ingin melihat, tetapi tidak untuk mengerti yang dilihat, melaikan hanya untuk melihat entah mengapa dan untuk apa. Ia hanya mencari yang baru untuk merasakan kebaruan itu tanpa tahu mengapa itu baru. Berita tentang rumah hantu di kawasan pondok indah jakarta menyeret ratusan orang untuk melihatnya. Saat ditanya mengapa datang kesitu, orang tak bisa memberikan alasan selain hanya untuk melihat seperti juga orang-orang lain melihat. Prilaku konsumen produk-produk baru menunjukan gejala serupa”.
            Begitu sempurna gambaran nir-karakter kita, sehingga kesurupan pun menjadi gejala massal di sekolah-sekolah. Tanpa karakter, kita begitu latah bahkan dalam hal-hal yang seharusnya tak pantas ditiru.
Posted by Nida Vitria Utami On 01.50 No comments READ FULL POST

Senin, 20 April 2015


wajah pendidikan kita

            pendidikan karakter tiba-tiba menjadi wacana hangat di dunia pendidikan indonesia. Walaupun gagasan karakter adalah gagasan tua, setua sejarah pendidikan, namun kemunculan gagasan “pendidikan karakter”  menginterupsi kita, atau menonjok keterlenaan kita, atau bahkan menonjok keterlenaan kita. Selama ini kita begitu asyik berenang-renang pada model pendidikan yang menafikan karakter, sibuk menyusun desain pembelajaran dengan meletakkan pilihan a,b, atau c sebagai evaluasi terakhir. Selama ini kita bangga menyaksikan anak-anak didik begitu terampil menjawab soal-soal cerdas cermat, atau begitu lincah memainkan pengsil 2B-nya di antara isian soal ujian akhir; sembari menutup mata bahwa semakin hari mereka tampil sebagai “orang asing” atau sebaga orang yang terpecah (berpengetahuan x tetapi berprilaku minus x).
 
            Selama ini, bangsa kita kehilanga karakter.  Karakter ( dari bahasa Yunani Karasso) adalah cetak biru, format dasar; atau bisa juga dimaknai sebagai sesuatu yang tidak dapat dikuaai oleh intervensi manusiawi. Karakter adalah seperti lautan, tak terselami dan tak dapt diintervensi. Dan kita, sebagai bangsa sudah kehilangan sesuatu yang tak dapat diintervensi ini. Setelah reformasi kita semakin menemukan muka rusak prilaku diri. Begitu gampang di sulut, begitu mudah dionbang-ambing isu, dan begitu ringan untuk menuduh pihak lain sebagai yang pasti bersalah tanpa intropeksi diri.
            Sebagai lautan, kita begitu gampang diselami, dibuat keruh atau dibuat mengamuk bagai Stunami. Sebagai gelombang, kita sebagai gelombang, kita mudah diintervensi oleh pihak-pihak tertentu untuk marah, bergerombol dan meneriakkan sesuatu yang bukan keinginan kita. Sebagai bukti, kita bisa membuka media massa sembarang. Tiap hari ada saja orang yang bunuh diri. Tidak tanggung-tanggung bangsa ini melahirkan bunuh diri sekeluarga. Tiap hari selalu saja ada  pejabat yang berkomentar atau mengemukakan pendapat tanpa mempertimbangkan kenyataan (atau bahkan mengingkari kenyataan). Setiap menit kita menyaksikan aliran uang jutaan rupiah ditawarkan bagi tebak-tebakan yang remeh-remeh di televisi sembari diselingi breaking news tentang seorang kepala keluarga di sulawesi mati kelaparan
Posted by Nida Vitria Utami On 02.38 No comments READ FULL POST
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

Cari Blog Ini