Profesor
ahmat tafsir pernah memberikan jawaban yang unik, sepertinya jawaban ini dapat
ditarik dalam tema karakter ini. Saat itu sang profesor dihadapkan pada
pertanyaan, “berhasikah pendidikan indonesia?” beliau menjawab, “ bila ingin
melihat hasil pendidikan indonesia, lihatlah apa yang sedang terjadi saat ini.
“ ini cara evaluasi yang sederhana, gampang dilakukan, dan menghasilkan
kesimpulan yang tak terbantahkan.
Sebagian
besar anggota parlemen atau pejabat yaang korupsi adalah alumni pendidikan
indonesia 30-60 tahun yang lalu; mahasiswa yang memiliki hobi berdemonstrasi
adalah alumni pendidikan indonesia 20 tahun yang lalu; sedangkan anak-anak gaul
yang ingin melepaskan diri dari sejarah adalah alumni pendidikan indonesia 15
tahun yang lalu. Itu semua adalah hasil sistem pendidikan indonesia, simpul pak
profesor.
Bila
demikian, sistem pendidikan negri ini tidak bisa dikatakan berhasil. Pada
beberapa sisi kita memang berhasil menghasilkan banyak komentator sepak bola
yang handal ketimbang pemain bola yang memadaai; lebih banyak memiliki
komentator politik ketimbang politikus yang baik; lebih banyak menghasilkan
mubalig yang pandai mengundang tawa dari pada penyebar rahmat bagi semua
semesta.
Tetapi
itulah hasil sistem pendidikan nasional, sistem pendidikan kita. Suatu sistem
yang lebih sibuk pada pergantian aturan, atau sekedar peganti huruf “A” dengan
huruf “U” sembari melupakan apa yang seharusnya segera dikerjakan. Bila melihat
hasilnya, yaitu menumpuknya para komentator, dapat diduga bahwa pendidikan kita
begitu banyak menjejalkan pengetahuan, teori-teori, dan informasi sembari lupa
melakukan praktik. Sehingga jadilah sejumlah alumni yang begitu pandai
berbicara teori ini dan itu, tapi tak mampu untuk melakukan teorinya ddengan
baik.
Freire
menyebutnya sebagai pendidik “ bergaya bank” siswa dianggap “celengan “ yang
siap kapan saja untuk dijejali apa yang dikehendaki sang guru. Siswa adalah
tanah lempung yang begitu lugu, yang bisa dibentuk menjadi apapun sekehendak
sang guru. Pada sistem bergaya bank, ujar Freire, pendidikan seperti melarikan
dirii dari kenyataan. Apapun yang terjadi pada kenyataan, tak memengaruhi
transmisi pengetahuan di dalam ruangan kelas.
Iqbal
menyebutnya sebagai pendidikan “bergaya kambing”. Paada buku Asrar Khudi, Iqbal
mengisahkan suatu fabel yang menyesakkan.
Alkisah
di suatu hutan, para kambing gelisah pada keliaran srigala, keganasannya telah
menghabiskan lebih dari separo dari komunitas kambing. Lalu seekor kambing tua
yang bijak dan cerdik mengusulkan diri untuk menundukkan serigala. Pada suatu
malam, kambing tua ini mendataangi perkampungan serigala dan dengan muslihatnya
mengaku diri menjadi nabi yang dikir khusus untuk serigala. Sebagai nabi, kambing tua itu mmfatwakan sejumlah
ajaran baru yang mereformasi ajaran lama. Ajaran yang terpenting adalah
berpantang memakan daging kambing. Jadilah kelompok serigala itu berprilaku
seperti kambing, mengembik dan memakan rumput serta taat pada kambing-kambing
Apa
yang dinyatakan iqbal tentulah sebuah amsal bahwa pendidikan begitu memaksakan
suatu konsep yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan potensi peserta didik.
Pendidikan telah merusak potensi seseorang daan menjadikannya sebagai
“pecundang” yang penuh gaya dan keyakinan
0 komentar:
Posting Komentar