Kamis, 23 April 2015



Profesor ahmat tafsir pernah memberikan jawaban yang unik, sepertinya jawaban ini dapat ditarik dalam tema karakter ini. Saat itu sang profesor dihadapkan pada pertanyaan, “berhasikah pendidikan indonesia?” beliau menjawab, “ bila ingin melihat hasil pendidikan indonesia, lihatlah apa yang sedang terjadi saat ini. “ ini cara evaluasi yang sederhana, gampang dilakukan, dan menghasilkan kesimpulan yang tak terbantahkan.
Sebagian besar anggota parlemen atau pejabat yaang korupsi adalah alumni pendidikan indonesia 30-60 tahun yang lalu; mahasiswa yang memiliki hobi berdemonstrasi adalah alumni pendidikan indonesia 20 tahun yang lalu; sedangkan anak-anak gaul yang ingin melepaskan diri dari sejarah adalah alumni pendidikan indonesia 15 tahun yang lalu. Itu semua adalah hasil sistem pendidikan indonesia, simpul pak profesor.
Bila demikian, sistem pendidikan negri ini tidak bisa dikatakan berhasil. Pada beberapa sisi kita memang berhasil menghasilkan banyak komentator sepak bola yang handal ketimbang pemain bola yang memadaai; lebih banyak memiliki komentator politik ketimbang politikus yang baik; lebih banyak menghasilkan mubalig yang pandai mengundang tawa dari pada penyebar rahmat bagi semua semesta.
Tetapi itulah hasil sistem pendidikan nasional, sistem pendidikan kita. Suatu sistem yang lebih sibuk pada pergantian aturan, atau sekedar peganti huruf “A” dengan huruf “U” sembari melupakan apa yang seharusnya segera dikerjakan. Bila melihat hasilnya, yaitu menumpuknya para komentator, dapat diduga bahwa pendidikan kita begitu banyak menjejalkan pengetahuan, teori-teori, dan informasi sembari lupa melakukan praktik. Sehingga jadilah sejumlah alumni yang begitu pandai berbicara teori ini dan itu, tapi tak mampu untuk melakukan teorinya ddengan baik.
Freire menyebutnya sebagai pendidik “ bergaya bank” siswa dianggap “celengan “ yang siap kapan saja untuk dijejali apa yang dikehendaki sang guru. Siswa adalah tanah lempung yang begitu lugu, yang bisa dibentuk menjadi apapun sekehendak sang guru. Pada sistem bergaya bank, ujar Freire, pendidikan seperti melarikan dirii dari kenyataan. Apapun yang terjadi pada kenyataan, tak memengaruhi transmisi pengetahuan di dalam ruangan kelas.
Iqbal menyebutnya sebagai pendidikan “bergaya kambing”. Paada buku Asrar Khudi, Iqbal mengisahkan suatu fabel yang menyesakkan.
Alkisah di suatu hutan, para kambing gelisah pada keliaran srigala, keganasannya telah menghabiskan lebih dari separo dari komunitas kambing. Lalu seekor kambing tua yang bijak dan cerdik mengusulkan diri untuk menundukkan serigala. Pada suatu malam, kambing tua ini mendataangi perkampungan serigala dan dengan muslihatnya mengaku diri menjadi nabi yang dikir khusus untuk serigala.  Sebagai nabi, kambing tua itu mmfatwakan sejumlah ajaran baru yang mereformasi ajaran lama. Ajaran yang terpenting adalah berpantang memakan daging kambing. Jadilah kelompok serigala itu berprilaku seperti kambing, mengembik dan memakan rumput serta taat pada kambing-kambing
Apa yang dinyatakan iqbal tentulah sebuah amsal bahwa pendidikan begitu memaksakan suatu konsep yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan potensi peserta didik. Pendidikan telah merusak potensi seseorang daan menjadikannya sebagai “pecundang” yang penuh gaya dan keyakinan     
Posted by Nida Vitria Utami On 02.17 No comments

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

Cari Blog Ini